BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana merupakan hukum yang masuk kedalam kategori hukum
publik, yaitu : hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum pidana sendiri
memiliki pengertian, yaitu : Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbutan
yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan
terhadap pelanggarnya.
Hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi
yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi
manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai
materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan
memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana
hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau
tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan
berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum
pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai
dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, belumlah
merupakan hukum yang asli lahir dan dibuat oleh bangsa kita sendiri,
melainkan warisan peninggalan bangsa
Belanda dahulu. KUHP kita sekarang ini masih merupakan terjemahan daripada KUHP
Belanda (Wetboek van Strafrech).
Adapun riwayat atau sejarah pertumbuhan hukum pidana di Indonesia,
akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal inipun bertujuan agar kita semua sebagai
mahasiswa fakultas Syari’ah memahami dan mengetahui sejarah perkembangan hukum
pidana di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah perkembangan Hukum Pidana
sebelum kemerdekaan RI?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan
Hukum Pidan setelah kemerdekaan RI?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan
Hukum Pidana Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
Babak sejarah hukum
pidana yang tertulis di Indonesia dapat dibagi atas:
A.
Zaman VOC
B.
Zaman Hindia Belanda
C.
Zaman Kemerdekaan
1.
Zaman VOC
Pada
tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia yang mendapat
tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan
plakat-plakat yang diberi nama Statuten van Batavia. Pada tahun 1650
himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien.
Menurut
Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah:
1)
Hukum statuta yang termuat di
dalam : Statuten van Batavia.
2)
Hukum Belanda kuno.
3)
Asas-asas hukum Romawi.
Hubungan
hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika
statuta tidak dapat menyelesaikan masalah maka hukum Belanda kuno yang
diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak
(slaven recht).
Statuta
Betawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara:
pilau-pulau Teluk Betawi, di timur sungai Citarum, di selatan: Samudra India,
di barat: Sungai sadane.
Pada
praktiknya orang pribumi tetap tunduk kepada hukum adatnya. Didaerah lain tetap
berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang
berkaitan dengan kepentingan dagangnya.
Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon
yang mendapatkan pengaruh VOC.
Pada
tahun 1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen.
Barulah
pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
1)
Het Wetboek van Strafrecht voor
Europaenen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1
Januari 1867. Kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP unutk
golongan Bumiputra dan Timur Asing.
2)
Het Wetboek van Strafrecht voor
Inlands en daarmede gelijk gestelde (Stbl. 1872 Nomor 58), mulai berlaku 1
Januari 1873.
2.
Zaman Hindia Belanda
Tahun
1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan
Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda
di kembalikan kepada Belanda. Pemerintahan Inggris diserahterimakan kepada
komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda.
Regerings Reglement 1815 dengan tambahan
(Supletoire Instructie 23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah kolonial
tercipta.
Agar
tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus
1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya masih
berlaku Statua Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi hukum adat pidana
masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan
perintah-perintah, begitu pula undang-undang pemerintah.
Kepada
bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang
didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
1.
yang dipidana kerja rantai;
2.
yang dipidana kerja paksa.
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi
upah. Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikarenakan dengan tiga cara:
a.
kerja paksa dengan dirantai dan
pembuangan;
b.
kerja paksa dengan dirantai
tetap dibuang.
c.
Kerja paksa tanpa rantai tapi
dibuang.
Semua
peraturan terdahulu tidak berlaku lagi. KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa
tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di negeri Belanda tetapi berbeda dari
sumbernya tersebut, yang berlaku di Inodnesia terdiri hanya atas 2 buku,
sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku.
KUHP
yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran dari KUHP yang berlaku pada
golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918
pun, pidanya lebih berat daripada KUHP belanda 1886.
Oleh
karena itu, perlu pula dtinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di
Negeri Belanda. Pertama kali ada kodifikasi di Negeri Belanda. Pertama kali ada
odifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya Crimineel Wetboek voor
het Koninglijk Holland 1809.
Kitab
Undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu:
1)
Pemberian kebebasan yang besar
kepada hakim di dalam pemberian pidana;
2)
Ketentuan-ketentuan khusus
untuk penjahat remaja;
3)
Penghapusan perampasan umum.
Sistem
pidana di dalam Code Penal lain sekali jika dibanding dengan kodefikasi
1809. Diperkenalkan lagi perampasan umum. Dengan Gouv, Besluit 11 Desember 1813
diadakan beberapa perubahan misalnya tentang perampasan umum, tapi
diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati menurut sistem
Belanda kuno.
Belanda
terus berusa mengadakan perubahan-perubahan juga usaha menciptakan KUHP
nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian.
Pidana sistem sel yang berlaku dengan Undang-Undang 28 Juni 1851 Stbl 68
diperluas dengan Undang-Undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan dihapus, jumlah
pidana mati dikurangi, jumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan (wanbedriff),
pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. Kemudian,
17 September 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.
3.
Zaman Pendudukan Jepang
WvSI
berlaku pada pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang (Osamu
Serei) Nomor I Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942
sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
Pasal
3 Osamu Serei tersebut berbunyi:
“Semua
badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum Undang-Undang dari pemerintah
yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan
dengan aturan pemerintah militer”.
Jadi,
hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan
raja/ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan yang semacam dikeluarkan juga di
luar Jawa dan Madura.
Dibanding
dengan hukum pidana materil, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,
karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam
Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
4.
Zaman Kemerdekaan
Keadaan
pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan:
“Segala
badan negara dan peraturan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Untuk
memperkuat aturan peralihan tersebut, maka presiden mengeluarkan suatu
peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang
berbunyi:
“Untuk
ketertiban masyarakat berdasar atas aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan
peraturan sebagai berikut:”
Pasal 1
“Segala
badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan
dengan Undang-Undang tersebut.”
Pasal 2
“Peraturan
ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Barulah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Thun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas
WvSI.
Ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang
(mulai 1946) ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan
berbagai perubahan dan penambahan yang dsesuaikan dengan keadaan Negara
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht yang
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun1946 terhadap Wetboek
van Starafrecht 8 Maret Tahun1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ialah:
1.
Pasal 5 yang
menentukan bahwa peraturan hukum pidana ang seluruhnya atau sebagian sekarang
tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai
negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
2.
Pasal VI mengubah dengan resmi
nama Wetboek van Starafrecht voor Nederlands Indie menjadi Wetboek van Starfrecht (saja) yang dapat
disebut juga dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3.
Pasal VIII
membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP itu sebanyak 68
ketentuan.
4.
Diciptaklan
delik-delik baru yang dimuat dalam pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi
kemudian dengan Undang-Undang Nomor 78 Tahun1958 Pasal XVI tersebut dicabut.
Perlu dipahami bahwa teks asli Wetboek
van Shafrecht atau KUHP itu sampai kinipun masih di dalam bahasa Belanda,
kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya
sudah tentu dalam bahasa Indonesia.
Landasan yang dipegang oleh pelaksana
hukum (hakim,iaksa, polisi dan pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa
Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat
penerjemahan sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa
Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali lagi ke Indonesia menduduki
beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama meliputi
kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung,
Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh
Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua.
Pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda itu de Facro
tidak diberlakukan Undang-Undang Nomor I Tahun 1946, kecuali untuk wilayah
Sumatera yang diduduki oleh Belanda sesudah Aksi Militer I, ditetapkan bahwa
peraturan lama masih tetap berlaku (peraturan RI).
Adapun
daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda tersebut
diberlakukan Wetboek van strafrechr voor Nederlandsch Indie yang
kemudian diubah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht voor
Indonesie berdasarkan Ordonansi tanggal 21 September 1948.
Stbl 1948 Nomor 224, mulai berlaku 22 September 1948, dan semua
kata-kata Nederlandsch — Indie di dalam WvS tersebut diganti dengan "Indonesie".
Begitu pula istilah Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran Negara
Hindia Belanda) diganti menjadi Staatsblad van Indonesie.
Apabila Pemerintah Republik Indonesia mengubah dan
menambah Wetboek van Strafrecht, maka Belanda juga mengadakan perubahan-perubahan
di dalam Wetboek van Strafrecht voor Indonesie tersebut.
Perubahan-perubahan dan penambahan mula-mula dengan Stbl
1945 Nomor 123 yang mulai berlaku 25 Agustus 1945 yaitu ketentuan khusus baru
dikeluarkan oleh Letnan Gubemur Jende ral mengenai eksekusi. pidana mati, yang
menentukan bahwa pidana mati dieksekusi dengan jalan ditembak, kecuali
ditentukan lain oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian, Pasal ll WvS1 yang
menentukan bahwa pidana mati dijalankan dengan penggantungan tidak diterapkan.
Stbl pasal di
dalam WvSI berakhir dengan angka (Pasal) 570, sedangkan KUHP hanya 1945 Nomor
135 yang mulai berlaku 7 Oktober1945, banyak ketentuan Bab `I Buku 1I WvSI
diubah oleh Belanda (Pasal 110, 112, 113, 115, 116, 117, 119, 120, 122, 123,
124, 125, 126, dan 127) dan diciptakan Pasal baru, yaitu Pasal 124 bis dan bab
baru di dalam Buku III, yaitu Bab IX. Dengan penambahan ini, maka jumlah Pasal
di dalam WvSI berakhir dengan angka (Pasal) 570, sedangkan KUHP hanya 569.
Adanya dua
macam WvS yang berlaku di dua macam wilayah yang berbeda ditambah dengan
perubahan-perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan
dalam penerapannya kemudian. Terlebih-lebih dengan perubahan wilayah, yang
dengan aksi militer I, menambah wilayah yang diduduki Belanda, yang dengan
Perjanjian Renville 17 Januari 1948 disebut daerah-daerah terra
neerlundica.
Sesudah Aksi Militer I, dikeluarkan Stbl 1947 Nomor 180 yang mulai
berlaku 31 Oktober 1947, yaitu suatu ketentuan yang merevisi Pasal 171.
Stbl 1948 Nomor 169 yang mulai berlaku 30 Juli 1948
dicabutlah Pasal 153 bis dan 154 ter dan penambahan pasal-pasal baru, yaitu
Pasal 159a dan 159b dan paragraf baru yang memuat Pasal 335.
Pasal 153 bis dan Pasal 154 ter yang dicabut itu berisi
ketentuan sanksi pidana terhadap perbuatan propaganda tuntutan "Indonesia
merdeka dari penjajahan Belanda". Tetapi pasal baru yang menggantikannya,
yaitu Pasal 159 a dan 159 b pada asasnya sama saja dengan yang dicabut itu.
Keputusan 3
Januari 1947 Nomor 1, yang dikeluarkan oleh Wakil Tinggi Mahkota, Stbl 1949
Nomor 1, mulai berlaku 7 Januari 1949, ancaman pidana delik penyuapan yang
tercantum dalam Pasal 418 WvSI dinaikkan dari enam bulan menjadi 3 tahun.
Kemudian dengan keputusan Nomor 3 tanggal 22 September 1949, Stb1 1949 Nomor
238 yang mulai berlaku 28 September 1949, maka Pasal 393 bis dan 394 WvSI
diubah.
Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam
undang-undang hukum pidana di Indonesia.
Tetapi menurut Han Bing Siong, masih terdapat beberapa
masalah, yang penulis angkat dua di antara yang dikemukakan nya, yaitu:
1)
Masalah ketentuan Pasal 1 ayat
2 KUHP, yang menentukan bahwa jika terjadi perubahan perundangundangan sesudah
per buatan dilakukan, maka terhadap terdakwa dikenakan ketentuan yang paling
menguntungkannya. Oleh karena ada perbedaan antara kedua macam WvS, misalnya
Pasal 418 ancaman pidananya didalam WVSI adalah tiga tahun, sedangkan di dalam
WvS (KUHP) hanya enam bulan, maka jika suatu perbuatan dilakukan di daerah
Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur sebelum 29
September 1958 (mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958) dan diadili
sesudah undang-undang ter sebut keluar, terjadilah masalah Pasal 1 ayat 2
tersebut, karena menurut KUHP (berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946)
ancaman pidananya hanya enam bulan.
2)
Pasal 512 a ditambahkan oleh
Undang—Undang Nomor 8 Tahun 1951, sedangkan Pasal 24.1 sub 1 dan Pasal 527
dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana
Imigrasi), maka menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Pasal 51221
dihapuskan lagi di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur
pada tanggal 28 September 1958 (saat berlakunya Undang-Undang Nomor 73Tahun
1958), sebaliknya Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 dihidupkan kembali sebagaimana
keadaannya pada 8 Maret 1942. Judi, kata Han Bing Siong meskipun hanya ada satu
KUHP yang berlaku untuk selumh Indonesia, tetap ada beberapa perbedaan yang
tertinggal. Ada satu KUHP katanya dengan Pasal 512 a dan tanpa Pasal 241 sub 1
dan Pasal 527 di Jawa, Madura dan Sumatera, kecuali Jakarta Raya, dan Sumatera
Timur, satu lagi tanpa Pusal 512 a tetapi dengan Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527
di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur. Lalu untuk
daerahdaerah yang tersebut belakangan tidak berlakuUndang-Undang Nomor 8 (drt)
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi)[1]
B.
Sejarah Perkembangan
Hukum Pidana Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan
hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II
aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi
hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946
disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab
Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak
memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal
8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima
tertinggi Balantentara Hindia Belanda. [2]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1.
Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu
hukum hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan pada wilayah
tertentu. Sejarah hukum mempunyai pegangan penting bagi yuris pemula untuk
mengenal budaya dan pranata hukum.
Induk peraturan hukum
pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP
ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk
Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda
yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.
walaupun WvSNI merupakan turunan ( copy ) dari WvS Belanda, namun pemerintah
kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi ( penyesuaian )
bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan
disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
2.
Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda
membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada
tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel
Wetboek voor Het Koniklijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku,
pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (
kodifikasi hukum pidana ) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte
menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda.
Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun
1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrecht
sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah perginya Prancis pada tahun
1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code penal ) selama
kurang lebih 68 tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama usaha pembaharuan
hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa perubahan terutama pada
ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code
Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun
1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van
Strafrecht sebagai penganti Code Penal Napoleon dan mulai
diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek
van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun
1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek
van Strafrecht voor Europeanen ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa )
dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari
1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor
Inlender ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan Staatblad
tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dapat dinyatakan bahwa pada masa itu
terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan
hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (
Minister van Kolonien ) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh
karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninlijk
Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek
van Strafrech voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu
mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana
yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD
1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana
Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa
nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek
van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali
peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik
yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi
Balantentara Hindia Belanda.
Perjuangan Bangsa Indonesia belum
selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka
pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan
Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Runtutan sejarah terbentuknya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dapat diilustrasikan dalam bagan berikut :
Tahun
|
Peristiwa
|
Selisih waktu
|
1810
|
CodePenal diberlakukan di
Prancis
|
1 tahun
|
1811
|
CodePenal diberlakukandi
Belanda
|
56 tahun
|
1867
|
Wetboek van
Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda
|
6 tahun
|
1873
|
Wetboek van
Strafrecht voorInlander berlaku di Hindia-Belanda
|
8 tahun
|
1881
|
Wetboek van Strafrecht disahkan di
Belanda
|
5 tahun
|
1886
|
Wetboek van
Strafrecht diberlakukan di Belanda
|
29 tahun
|
1915
|
Wetboekvan
Strafrecht Nedherlands Indie disahkan untuk Hindia Belanda
|
3 tahun
|
1918
|
Wetboek van
Strafrecht Nedherlands Indie deberlakukan di Hindia Belanda
|
28 taun
|
1946
|
Wetboek van
Strafrecht Nedherlands Indie disebut sebagai KUHP Indonesai
|
|
Total
selisih
|
||
Waktu
136 tahun
|
USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
Pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (
reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa
Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar
hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik,
dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya
penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif ( KUHP ),
hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan
internasional mengenai materi hukum pidana. Adapun alasan-alasan yang
mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto,
yaitu :
- Alasan yang bersifat politik
Adalah wajar bahwa negara Republik
Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini
merupakan kebanggaan nasional yang Inherent dengan kedudukan sebagai negara
yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu tugas dari
pembentukan Undang-Undang adalah menasionalkan semua peraturan
perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2.
Alasan yang bersifat sosiologis
Suatu KUHP adalah pencerminan dari
nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang
tidak dikehendaki dan mengikatkan perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang
bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang
dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam
masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
3.
Alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda
meskipun menurut UU No 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP.
Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing
semakin sedikit.dilain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang
beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang
menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang
tepat.
KUHP nasional dimasa mendatang harus
dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya
perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.
Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana,
pembaharuan KUHP ( materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian
demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara
universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total
kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia
harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang yang selalu tertinggal dari
realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih
berlaku saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan
untuk menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi negara yang bebas dan
merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa
bangsa. [3]
2.
Saran
1.
Kepada teman-teman khususnya
jurusan Muamalah semester II dapat mengetahui sejarah perkembangan hukum pidana
sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
2. Demikian dengan isi makalah yang kami sajikan,
bila ada kesalahan dalam penulisan mohon dimaklumi. Dengan segala kerendahan
hati kami, kami sebagai pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari teman-teman sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah Andi DR, S.H. 2008, Asas-Asas
Hukum Pidana, Jakarta. PT. Asdi Mahasatya.
http://rudipradisetia.blogspot.com/2010/06/meringkas-sejarah-hukum-pidana-di_21.html. Unduhan Tanggal, 28 Maret 2013.
http://lotusbougenville.wordpress.com/2009/11/10/5/.
Unduhan Tanggal 30 Maret 2013.