Rabu, 22 April 2015

Sejarah Perkembangan Hukum Pidana Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum pidana merupakan hukum yang masuk kedalam kategori hukum publik, yaitu : hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum pidana sendiri memiliki pengertian, yaitu : Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbutan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya.
Hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, belumlah merupakan hukum yang asli lahir dan dibuat oleh bangsa kita sendiri, melainkan  warisan peninggalan bangsa Belanda dahulu. KUHP kita sekarang ini masih merupakan terjemahan daripada KUHP Belanda (Wetboek van Strafrech).
Adapun riwayat atau sejarah pertumbuhan hukum pidana di Indonesia, akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal inipun bertujuan agar kita semua sebagai mahasiswa fakultas Syari’ah memahami dan mengetahui sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
      Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Bagaimana sejarah perkembangan Hukum Pidana sebelum kemerdekaan RI?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan Hukum Pidan setelah kemerdekaan RI?
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Hukum Pidana Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia

            Babak sejarah hukum pidana yang tertulis di Indonesia dapat dibagi atas:
A.    Zaman VOC
B.     Zaman Hindia Belanda
C.     Zaman Kemerdekaan

1.      Zaman VOC
Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang diberi nama Statuten van Batavia. Pada tahun 1650 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien.
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah:
1)      Hukum statuta yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.
2)      Hukum Belanda kuno.
3)      Asas-asas hukum Romawi.
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (slaven recht).
Statuta Betawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara: pilau-pulau Teluk Betawi, di timur sungai Citarum, di selatan: Samudra India, di barat: Sungai sadane.
Pada praktiknya orang pribumi tetap tunduk kepada hukum adatnya. Didaerah lain tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya.
 Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapatkan pengaruh VOC.
Pada tahun 1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen.
Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
1)      Het Wetboek van Strafrecht voor Europaenen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP unutk golongan Bumiputra dan Timur Asing.
2)      Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijk gestelde (Stbl. 1872 Nomor 58), mulai berlaku 1 Januari 1873.

2.      Zaman Hindia Belanda
Tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda di kembalikan kepada Belanda. Pemerintahan Inggris diserahterimakan kepada komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda.
 Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah kolonial tercipta.
Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya masih berlaku Statua Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah, begitu pula undang-undang pemerintah.
Kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
1.                  yang dipidana kerja rantai;
2.                  yang dipidana kerja paksa.
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah. Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikarenakan dengan tiga cara:
a.       kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan;
b.      kerja paksa dengan dirantai tetap dibuang.
c.       Kerja paksa tanpa rantai tapi dibuang.
Semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi. KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku  di negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Inodnesia terdiri hanya atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku.
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran dari KUHP yang berlaku pada golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidanya lebih berat daripada KUHP belanda 1886.
Oleh karena itu, perlu pula dtinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda. Pertama kali ada kodifikasi di Negeri Belanda. Pertama kali ada odifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya Crimineel Wetboek voor het Koninglijk Holland 1809. 
Kitab Undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu:
1)      Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
2)      Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja;
3)      Penghapusan perampasan umum.
Sistem pidana di dalam Code Penal lain sekali jika dibanding dengan kodefikasi 1809. Diperkenalkan lagi perampasan umum. Dengan Gouv, Besluit 11 Desember 1813 diadakan beberapa perubahan misalnya tentang perampasan umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati menurut sistem Belanda kuno.
Belanda terus berusa mengadakan perubahan-perubahan juga usaha menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian. Pidana sistem sel yang berlaku dengan Undang-Undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas dengan Undang-Undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan dihapus, jumlah pidana mati dikurangi, jumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan (wanbedriff), pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. Kemudian, 17 September 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.

3.      Zaman Pendudukan Jepang
WvSI berlaku pada pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang (Osamu Serei) Nomor I Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
Pasal 3 Osamu Serei tersebut berbunyi:
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum Undang-Undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”.
Jadi, hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan raja/ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan yang semacam dikeluarkan juga di luar Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materil, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

4.      Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan:
“Segala badan negara dan peraturan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka presiden mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi:
“Untuk ketertiban masyarakat berdasar atas aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut:”
Pasal 1
“Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.”
Pasal 2
“Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Barulah dengan Undang-Undang Nomor 1 Thun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI.
Ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan berbagai perubahan dan penambahan yang dsesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun1946 terhadap Wetboek van Starafrecht 8 Maret Tahun1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ialah:
1.      Pasal 5 yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana ang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
2.      Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetboek van Starafrecht voor Nederlands Indie menjadi Wetboek van Starfrecht (saja) yang dapat disebut juga dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3.      Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP itu sebanyak 68 ketentuan.
4.      Diciptaklan delik-delik baru yang dimuat dalam pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi kemudian dengan Undang-Undang Nomor 78 Tahun1958 Pasal XVI tersebut dicabut.
Perlu dipahami bahwa teks asli Wetboek van Shafrecht atau KUHP itu sampai kinipun masih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia.
Landasan yang dipegang oleh pelaksana hukum (hakim,iaksa, polisi dan pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat penerjemahan sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali lagi ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua.
Pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda itu de Facro tidak diberlakukan Undang-Undang Nomor I Tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki oleh Belanda sesudah Aksi Militer I, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (peraturan RI).
Adapun  daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda tersebut diberlakukan Wetboek van strafrechr voor Nederlandsch Indie yang kemudian diubah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht voor Indonesie berdasarkan Ordonansi tanggal 21 September 1948.
Stbl 1948 Nomor 224, mulai berlaku 22 September 1948, dan semua kata-kata Nederlandsch — Indie di dalam WvS tersebut diganti dengan "Indonesie". Begitu pula istilah Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) diganti menjadi Staatsblad van Indonesie.
Apabila Pemerintah Republik Indonesia mengubah dan menambah Wetboek van Strafrecht, maka Belanda juga mengadakan perubahan-perubahan di dalam Wetboek van Strafrecht voor Indonesie tersebut.
Perubahan-perubahan dan penambahan mula-mula dengan Stbl 1945 Nomor 123 yang mulai berlaku 25 Agustus 1945 yaitu ketentuan khusus baru dikeluarkan oleh Letnan Gubemur Jende ral mengenai eksekusi. pidana mati, yang menentukan bahwa pidana mati dieksekusi dengan jalan ditembak, kecuali ditentukan lain oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian, Pasal ll WvS1 yang menentukan bahwa pidana mati dijalankan dengan penggantungan tidak diterapkan.
 Stbl pasal di dalam WvSI berakhir dengan angka (Pasal) 570, sedangkan KUHP hanya 1945 Nomor 135 yang mulai berlaku 7 Oktober1945, banyak ketentuan Bab `I Buku 1I WvSI diubah oleh Belanda (Pasal 110, 112, 113, 115, 116, 117, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126, dan 127) dan diciptakan Pasal baru, yaitu Pasal 124 bis dan bab baru di dalam Buku III, yaitu Bab IX. Dengan penambahan ini, maka jumlah Pasal di dalam WvSI berakhir dengan angka (Pasal) 570, sedangkan KUHP hanya 569.
Adanya dua macam WvS yang berlaku di dua macam wilayah yang berbeda ditambah dengan perubahan-perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam penerapannya kemudian. Terlebih-lebih dengan perubahan wilayah, yang dengan aksi militer I, menambah wilayah yang diduduki Belanda, yang dengan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 disebut daerah-daerah terra neerlundica.
Sesudah Aksi Militer I, dikeluarkan Stbl 1947 Nomor 180 yang mulai berlaku 31 Oktober 1947, yaitu suatu ketentuan yang merevisi Pasal 171.
Stbl 1948 Nomor 169 yang mulai berlaku 30 Juli 1948 dicabutlah Pasal 153 bis dan 154 ter dan penambahan pasal-pasal baru, yaitu Pasal 159a dan 159b dan paragraf baru yang memuat Pasal 335.
Pasal 153 bis dan Pasal 154 ter yang dicabut itu berisi ketentuan sanksi pidana terhadap perbuatan propaganda tuntutan "Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda". Tetapi pasal baru yang menggantikannya, yaitu Pasal 159 a dan 159 b pada asasnya sama saja dengan yang dicabut itu.
Keputusan 3 Januari 1947 Nomor 1, yang dikeluarkan oleh Wakil Tinggi Mahkota, Stbl 1949 Nomor 1, mulai berlaku 7 Januari 1949, ancaman pidana delik penyuapan yang tercantum dalam Pasal 418 WvSI dinaikkan dari enam bulan menjadi 3 tahun. Kemudian dengan keputusan Nomor 3 tanggal 22 September 1949, Stb1 1949 Nomor 238 yang mulai berlaku 28 September 1949, maka Pasal 393 bis dan 394 WvSI diubah.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam undang-undang hukum pidana di Indonesia.
Tetapi menurut Han Bing Siong, masih terdapat beberapa masalah, yang penulis angkat dua di antara yang dikemukakan nya, yaitu:
1)      Masalah ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP, yang menentukan bahwa jika terjadi perubahan perundangundangan sesudah per buatan dilakukan, maka terhadap terdakwa dikenakan ketentuan yang paling menguntungkannya. Oleh karena ada perbedaan antara kedua macam WvS, misalnya Pasal 418 ancaman pidananya didalam WVSI adalah tiga tahun, sedangkan di dalam WvS (KUHP) hanya enam bulan, maka jika suatu perbuatan dilakukan di daerah Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur sebelum 29 September 1958 (mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958) dan diadili sesudah undang-undang ter sebut keluar, terjadilah masalah Pasal 1 ayat 2 tersebut, karena menurut KUHP (berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) ancaman pidananya hanya enam bulan.
2)      Pasal 512 a ditambahkan oleh Undang—Undang Nomor 8 Tahun 1951, sedangkan Pasal 24.1 sub 1 dan Pasal 527 dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi), maka menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Pasal 51221 dihapuskan lagi di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur pada tanggal 28 September 1958 (saat berlakunya Undang-Undang Nomor 73Tahun 1958), sebaliknya Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 dihidupkan kembali sebagaimana keadaannya pada 8 Maret 1942. Judi, kata Han Bing Siong meskipun hanya ada satu KUHP yang berlaku untuk selumh Indonesia, tetap ada beberapa perbedaan yang tertinggal. Ada satu KUHP katanya dengan Pasal 512 a dan tanpa Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 di Jawa, Madura dan Sumatera, kecuali Jakarta Raya, dan Sumatera Timur, satu lagi tanpa Pusal 512 a tetapi dengan Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur. Lalu untuk daerahdaerah yang tersebut belakangan tidak berlakuUndang-Undang Nomor 8 (drt) Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi)[1]
B.            Sejarah Perkembangan Hukum Pidana Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda. [2]






BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
1.      Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Sejarah hukum mempunyai pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum.
Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI merupakan turunan ( copy ) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi ( penyesuaian ) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
2.      Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal ( kodifikasi hukum pidana ) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda. Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code penal ) selama kurang lebih 68 tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama  usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa perubahan terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai penganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa ) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien ) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninlijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.
Perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dapat diilustrasikan dalam bagan berikut :
Tahun
Peristiwa
Selisih waktu
1810
CodePenal diberlakukan di Prancis
1 tahun
1811
CodePenal diberlakukandi Belanda
56 tahun
1867
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda
6 tahun
1873
Wetboek van Strafrecht voorInlander berlaku di Hindia-Belanda
8 tahun
1881
Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda
5 tahun
1886
Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda
29 tahun
1915
Wetboekvan Strafrecht Nedherlands Indie disahkan untuk Hindia Belanda
3 tahun
1918
Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie deberlakukan di Hindia Belanda
28 taun
1946
Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie disebut sebagai KUHP Indonesai



Total                 selisih


Waktu           136 tahun
USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif ( KUHP ), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi  hukum pidana. Adapun alasan-alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu :
  1. Alasan yang bersifat politik
Adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang Inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu tugas dari pembentukan Undang-Undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2.      Alasan yang bersifat sosiologis
Suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
3.      Alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut UU No 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit.dilain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan  terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
KUHP nasional dimasa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.
Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP ( materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa. [3]

2.      Saran
1.    Kepada teman-teman khususnya jurusan Muamalah semester II dapat mengetahui sejarah perkembangan hukum pidana sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
2.    Demikian dengan isi makalah yang kami sajikan, bila ada kesalahan dalam penulisan mohon dimaklumi. Dengan segala kerendahan hati kami, kami sebagai pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman sekalian.





DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Andi DR, S.H. 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. PT. Asdi Mahasatya.
http://lotusbougenville.wordpress.com/2009/11/10/5/. Unduhan Tanggal 30 Maret 2013.


[1] DR. Andi Hamzah S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2008, hlm. 6.
[2] http://lotusbougenville.wordpress.com/2009/11/10/5/. Unduhan Tanggal 30 Maret 2013.
[3] Ibid.