BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW.hingga masa Imam Syafi’I terdapat kelompok fuqoha
yang masyhur dengan pendapatnya.Di sisi lain,ada sekelompok fuqoha yang popular
dengan periwayatan hadist nya.Di antarapara fuqoha dari kalangan para
sahabat,terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya.Sebagaimana sahabat
lain yang masyhur dengan hadist dan periwayatannya.Demikian pula dengan
generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in.Para imam mujtahid seperti Imam Abu
Hanifah,Imam Malik dan para fuqoha lain di berbagai negeri Islam yang terkenal
dengan pendapatnya,sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal dengan
periwayatan hadistnya.
Al-Syahrastani
dalam kitabnya yang berjudul Al-Milal wa Al-Nihal mengatakan:”sesungguhnya
berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari
banyak sekali.Kita juga mengetahui dengan pasti bahwa tidak setiap kejadian
atau permasalahan dapat keterangannya di dalam nash.Bahkan dapat dikatakan ada
kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Jika nash-nash yang
ada terbatas,sementara peristiwa –peristiwa yang terjadi tidak terbatas dan
sesuatu yang terbatas tidak dapat dihukumi oleh sesuatu yang terbatas.Maka
dapat diambil kesimpulan dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu
yang harus ditempuh,sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan
solusinya.
Sementara
itu,terbentuknya hukum syar;i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan
mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia.Musthofa Dib Al-Bugho mengatakan
dalam karyanya Ushul At-Tasyri’ Al-Islamiy:Atsar Al-Adillah AL-Mukhtalif
Fiha”pada dasarnya hukum islam dibentuk berdasarakan kemaslahatan umat
manusia.Setiap segala sesuatu ayng mengandung maslahah,maka terdapat dalil yang
mendukungnya,dan setiap kemudhorotan yang membahayakan,maka terdapat pula dalil
yang mencegahnya.Para lama sepakat bahwa semua hukum-hukum Allah dipenuhi
kemaslahatan hamba-Nya didunia dan di akhirat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
pemahaman mengenai maslahah mursalah ?
2. Bagaimana
lapangan kajian maslahah mursalah?
BAB II
ISI
A.
PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH
1. Menurut
bahasa
Dari segi
bahasa,kata al-maslahah adalah seperti lafadz al-manfaat,baik artinya maupun
wajannya(timbangan kata)yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat
ash-shalah,seperti halnya lafadz al-manfaat sama artinya dengan an-naf’u.
Bisa juga
dikatakan bahwa al-maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad)dari kata
al-mashalih.pengarang kamus lisan Al-‘Arab menjelaskan dua arti,yaitu al-maslahah yang berarti al-shalah dan al-maslahah yang
berarti bentuk tunggal dari al-mashalih.se muanya mengandung arti adanya
manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses,seperti menghasilkan
kenikmatan dan faedah,ataupun pencegahan dan penjagaa,seperti menjauhi
kemudhorotan dan penyakit.semua itu bias dikatakan maslahah.
Manfaat yang
dimaksud pembuat hukum syara’(Allah)adalah sifat menjaga
agama.jiwa,akal,keturunan,dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara
pencipta dan makhluknya.
Manfaat itu
adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.dengan
kata lain,Tahsil Al-Ibqo.Maksud tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara
langsung,sedangkan yang dimaksud dengan ibqo adalah penjagaan kepada kenikmatan
tersebut dengan cara menjaganya deari kemudhortan dan sebab-sebabnya.
Dengan
demikian,al-maslahah ar-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar dalil,tetapi juga tidak ada pembatalnya.jika terdapat suatu kejadian yang
tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’yang
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut,kemudian ditemukan sesuatu yang
sesuai dengan hukum syara’,yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan
kemudhorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat,maka kejadian tersebut merupakan
al-maslahah al-mursala.Tujuan al-maslahah al-mursalah adalah kemaslahatan:yakni
memelihara dari ke mudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Ada juga yang
mengartikan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu
hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan
atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang
tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan
semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang).
2. Pengertian
dan peristilahan al-maslahah al-mursalah
Menurut para
ulama ushul,sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu
dengan al-munasib al-mursal.Ada pula yang menggunakan al-istishlah dan ada pula
yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal.Istilah-istilah tersebut walau
tampak sama memiliki satu tujuan,masing-masing mempunya tinjauan yang
berbeda-beda setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dapat ditinjau
dari tiga segi:
a. Melihat
mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipermasalahkan misalnya pembuatan akte
nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang hal ini
memiliki kemaslahatan tetapi tidak di dasarkan pada dalil yang menunjukkan
pentingnya pembuatan akte nikah tersebut. Kemaslahatan ini disebut al mashlahah
al mursalah (mashlahah yang terlepas dari dalil khusus ), tetapi sejalan dengan
petunjuk-petunjuk umum syariat islam.
b. Melihat
sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al washf al munasib) yang mengharuskan
adanya ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte
nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ , antara lain
untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi, sifat kesesuaian ini tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus oleh karena itu ,dari sisi ini ia disebut al
munasib al mushalah(kesesuain dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil
yang khusus).
c. Melihat
proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditujukan oleh dalil khusus
. dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah
satu bagian syara’. Proses seperti ini disebut istislah (menggali dan
menetapkan suatu maslahah).
3. Pengertian
al-maslahah al-mursalah menurut para ulama
Walaupun para
ulama berbeda-beda dalam memandang
al-maslahah al-mursalah,hakikatnya adalah satu,yaitu setiapmanfaat yang
didalmanya terdapat tujuan syara’ secara umum,namun tidak terdapat dalil yang
secara khusus menerima atau menolaknya,dibawah ini akan dibahas beberapa pandangan
para ulama tentang hakikat dan pengertian al-maslahah al-mursalah.
a. Abu
Nur Zuhair
Al-maslahah
al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum,tetapi belum tentu
diakui atau tidaknya oleh syara’.(Muhammad Abu Nur Zuhair,IV:185).
b. Abu
Zahrah
Al-maslahah
al-mursalah adalah suatu maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat
hukum(ALLAH) secara umum,tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi
bukti diakui atau tidaknya.(Abu Zahrah :221)
c. Al-Ghazali
Al-maslahah
al-mursalah merupakan setiap maslahah yang kembali kepada pemeliharaan
maksud syara’ yang diketahui dari
Al-Qur’an,As-Sunah,dan Ijma’,tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut
secara khusus dan tidak juga melalui metode Qiyas.Jika memakai Qiyas,harus ada
dalil asal(maqis ‘alih).Cara mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu
adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas,baik dari
Al-Qur’an,As-Sunah,qorinah-qorinah,maupun dari siyarat-isyarat. Dari penyataan
Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa al-maslahah al-mursalah (istislah) menurut
pandangannya adalah suatu metode istidlal(mencari dalil)dari nash syara’ yang
tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’,tetapi ia tidak keluar dari
nash syara’.Menurut padangannya,ia merupakan hujjah qath’iyyat selama mengandung
arti pemeliharaan maksud syara’,walaupun dalam penerapannya zhanni.(Al-Ghazali:310).
d. Asy-Syathibi
Ia adalah salah seorang
madzhab Maliki yang mengatakan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah setiap
prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus,namun sesuai dengan tidankan
syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.Maka prisip tersebut
adalah sah sebagai dasar hukum dandapat dijadikan rujukan sepanjang ia telah
menjadi prisip dan digunakan syara’yang qoth’i. Dari pengertian yang dikemukakan
Asy-Syathibi tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa :
·
al-maslahah al-mursalah menurut
Asy-Syathibi adalah suatu maslahah yang tidak ada nash tertentu tetapi sesuai
dengan tindakan syara’.
·
Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak
diketahui dari satu dalil dan tidak dari nash yang khusus,melainkan dari
beberapa dalil dan nash secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qothi’
walupun secara bagian-bagiannya tidak menunjukkan qothi’.
Berdasarkan
analisis Asy-Syathibi ,menurut Imam Malik al-maslahah al-mursalah adalah suatu
masalah yang sesuai dengan tujuan,prinsip,dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi
untuk menghilangkan kesempitan baik yang sifat dharuriyat(primer)maupun
hajjiayat(sekunder).(Al-I’tisham juz II:1229).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat al- maslahah
dalam syari’at islam adalaha setiap
manfaat yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan
mu’tabar(diakui)atau tidaknya manfaat itu.
B.
SYARAT-SYARAT
MASLAHAH MURSALAH
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum maslahah
mursalah adalah ketika tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya
Imam Malik mengajukan syarat-syarat khususnya yaitu:
1. Adanya
persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid
as-syari’ah).yaitu:
a. Memelihara agama
b. Menjaga keturunan
c. Menjaga jiwa
d. Menjaga akal
e. Menjaga harta
Dengan adanya persyaratan ini
berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau
bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan
maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis
maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2. Maslahat itu
harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan
pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis
akan dapat diterima.
3. Penggunaan
dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian,
seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia
akan mengalami kesulitan.
Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Dan al-Baqarah ayat 185,
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
Syarat-syarat
di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan al-maslahah al mursalah secara
sembarangan dan menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi
hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahah Mursalah.
C.
OBJEK AL-MASLAHAH AL-MURSALAH
Dengan
memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa lapangan
al-maslahah al-mursalah selain yang berlandasakan pada hukum syara’ secara
umum,juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dan manusia
lain.Lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai
kemaslahatan.Dengan demikian,segi ibadah tidak termasuk dalam lampangan
tersebut.
Yang
dimaksud segi peribadatan adalah segala sesuatu yang tidak memberi kesempatan
kepada akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari setiap hukum yang ada
didalamnya.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa al-maslahah al-mursalah itu
difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash,baik dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya
melalui suatu I’tibar.Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya
ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
D.
PRO
KONTRA DAN PENDAPAT ULAMA MENGENAI MASLAHAH MURSALAH
Para ulama yang
pro terhadap maslahah mursalah diantaranya Imam Malik, Imam Hanbali dan
al-Syatibi dengan argumen sebagai berikut :
1. Adanya Takrir
(pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akal menggunakan ijtihad
bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan
sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar
atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya
untuk mencari dukungan nash.
2. Adanya amaliyah
dan praktek di jaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada istilah maslahah
mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima bersama tanpa
saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama.
Memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan
tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab. Penyatuan
cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali jaman Ustman ibn
Affan.
3. Suatu maslahah
bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum
(syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan
syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
4. Bila dalam
keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metoda maslahah
mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri
menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya sebagaimana
al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih
mudah dalam kehidupannya.
Sebagaimana disebutkan Abu Zahrah, Imam Malik dan
golongan Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai sumber hukum selama
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab pada hakekatnya,
keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikan maqasid as-Syar’i
(tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang
menguatkannya.
Para ulama yang kontra atau menolak maslahah mursalah
sebagai metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i, al-Ghazali dan para
pengikutnya yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai metoda ijtihad.
Alasan utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah sudah
terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi permasalahan
yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja. Sebaliknya jika
ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash Qur’an dan Sunnah, maka
artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu tidak sempurna atau tidak lengkap.
Dan ini tentu saja bertentangan dengan al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah
memberikan argumentasi sebagai berikut :
1. Bila suatu
maslahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah
termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang
membenarkannya maka tidak mungkin disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu
yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang lengkap atau kurang
sempurnya risalah Nabi.
2. Beramal dengan
maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada pengamalan
hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara seperti
ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-Ghazali
menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin melaksanakan
hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat dalam
menetapkan suatu hukum.
3. Penggunaan
maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap
bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya
atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak,
juga tidak ada yang dirusak”.
4. Penggunaan
maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memberi kemungkinan
mudahnya perubahan hukum syara seiring perubahan waktu dan tempat, maka tidak
akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum
syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Maslahah mursalah atau istihlah menurut bahasa adalah
mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum
suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar
pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau
dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang
tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karena dalam
hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan
selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah,
dalam bidang ta’zir ,pembuktian perkara-perkara yang lain, para ulama berbeda-beda
pendapat mengenai hal ini..Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah
adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ada nash dan tak ada pula ijma’
terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’
dan tidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat.
Pokok dan prinsip
kemaslahatan itu sudah digariskan dalam
teks syariat dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad
SAW. Alat dan cara untuk memperoleh
kemaslahatan itu berkembang dan beraneka ragam seirama dengan
perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan
hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondisi di
zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan dari teks syari kalau itu dibenarkan, dan dibatalkan kalau
tidak dibenarkan.
Yang
menjadi masalah adalah
kemaslahatan yang dirasakan atau dialami orang setelah Nabi wafat,
sedangkan teks syariat tidak
pernah menyinggung masalah
yang seperti itu. Inilah lapangan
penggunaan maslahah mursalah
yaitu kemaslahatan hidup
manusia menurut yang dialami dan dirasakan oleh manusia itu sendiri yang tidak dapat diqiyaskan pada maslahat
yang pernah dibenarkan atau dibatalkan oleh teks
syariat (nash).
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet-I, Jilid II
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung,
CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV
mahadalibogor.blogspot.co.id