Sabtu, 03 September 2016

Makalah Ushul Fiqh (Musholahah Musolihil Mursalah)

BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.hingga masa Imam Syafi’I terdapat kelompok fuqoha yang masyhur dengan pendapatnya.Di sisi lain,ada sekelompok fuqoha yang popular dengan periwayatan hadist nya.Di antarapara fuqoha dari kalangan para sahabat,terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya.Sebagaimana sahabat lain yang masyhur dengan hadist dan periwayatannya.Demikian pula dengan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in.Para imam mujtahid seperti Imam Abu Hanifah,Imam Malik dan para fuqoha lain di berbagai negeri Islam yang terkenal dengan pendapatnya,sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal dengan periwayatan hadistnya.
Al-Syahrastani dalam kitabnya yang berjudul Al-Milal wa Al-Nihal mengatakan:”sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari banyak sekali.Kita juga mengetahui dengan pasti bahwa tidak setiap kejadian atau permasalahan dapat keterangannya di dalam nash.Bahkan dapat dikatakan ada kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Jika nash-nash yang ada terbatas,sementara peristiwa –peristiwa yang terjadi tidak terbatas dan sesuatu yang terbatas tidak dapat dihukumi oleh sesuatu yang terbatas.Maka dapat diambil kesimpulan dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh,sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.
Sementara itu,terbentuknya hukum syar;i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia.Musthofa Dib Al-Bugho mengatakan dalam karyanya Ushul At-Tasyri’ Al-Islamiy:Atsar Al-Adillah AL-Mukhtalif Fiha”pada dasarnya hukum islam dibentuk berdasarakan kemaslahatan umat manusia.Setiap segala sesuatu ayng mengandung maslahah,maka terdapat dalil yang mendukungnya,dan setiap kemudhorotan yang membahayakan,maka terdapat pula dalil yang mencegahnya.Para lama sepakat bahwa semua hukum-hukum Allah dipenuhi kemaslahatan hamba-Nya didunia dan di akhirat.


B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pemahaman mengenai maslahah mursalah ?
2.      Bagaimana lapangan kajian maslahah mursalah?


BAB II
ISI

A.   PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH
1.      Menurut bahasa
Dari segi bahasa,kata al-maslahah adalah seperti lafadz al-manfaat,baik artinya maupun wajannya(timbangan kata)yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah,seperti halnya lafadz al-manfaat sama artinya dengan an-naf’u.
Bisa juga dikatakan bahwa al-maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad)dari kata al-mashalih.pengarang kamus lisan Al-‘Arab menjelaskan dua arti,yaitu al-maslahah  yang berarti al-shalah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih.se muanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses,seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah,ataupun pencegahan dan penjagaa,seperti menjauhi kemudhorotan dan penyakit.semua itu bias dikatakan maslahah.
Manfaat yang dimaksud pembuat hukum syara’(Allah)adalah sifat menjaga agama.jiwa,akal,keturunan,dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluknya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.dengan kata lain,Tahsil Al-Ibqo.Maksud tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung,sedangkan yang dimaksud dengan ibqo adalah penjagaan kepada kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya deari kemudhortan dan sebab-sebabnya.
Dengan demikian,al-maslahah ar-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil,tetapi juga tidak ada pembatalnya.jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut,kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’,yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat,maka kejadian tersebut merupakan al-maslahah al-mursala.Tujuan al-maslahah al-mursalah adalah kemaslahatan:yakni memelihara dari ke mudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Ada juga yang mengartikan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang).
2.      Pengertian dan peristilahan al-maslahah al-mursalah
Menurut para ulama ushul,sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan al-munasib al-mursal.Ada pula yang menggunakan al-istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal.Istilah-istilah tersebut walau tampak sama memiliki satu tujuan,masing-masing mempunya tinjauan yang berbeda-beda setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dapat ditinjau dari tiga segi:
a.       Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipermasalahkan misalnya pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang hal ini memiliki kemaslahatan tetapi tidak di dasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut. Kemaslahatan ini disebut al mashlahah al mursalah (mashlahah yang terlepas dari dalil khusus ), tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat islam.
b.      Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al washf al munasib) yang mengharuskan adanya ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ , antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi, sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus oleh karena itu ,dari sisi ini ia disebut al munasib al mushalah(kesesuain dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil yang khusus).
c.       Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditujukan oleh dalil khusus . dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian syara’. Proses seperti ini disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).

3.      Pengertian al-maslahah al-mursalah menurut para ulama
Walaupun para ulama berbeda-beda  dalam memandang al-maslahah al-mursalah,hakikatnya adalah satu,yaitu setiapmanfaat yang didalmanya terdapat tujuan syara’ secara umum,namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya,dibawah ini akan dibahas beberapa pandangan para ulama tentang hakikat dan pengertian al-maslahah al-mursalah.
a.       Abu Nur Zuhair
Al-maslahah al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum,tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’.(Muhammad Abu Nur Zuhair,IV:185).
b.      Abu Zahrah
Al-maslahah al-mursalah adalah suatu maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum(ALLAH) secara umum,tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.(Abu Zahrah :221)
c.       Al-Ghazali
Al-maslahah al-mursalah merupakan setiap maslahah yang kembali kepada pemeliharaan maksud  syara’ yang diketahui dari Al-Qur’an,As-Sunah,dan Ijma’,tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode Qiyas.Jika memakai Qiyas,harus ada dalil asal(maqis ‘alih).Cara mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas,baik dari Al-Qur’an,As-Sunah,qorinah-qorinah,maupun dari siyarat-isyarat. Dari penyataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa al-maslahah al-mursalah (istislah) menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal(mencari dalil)dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’,tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.Menurut padangannya,ia merupakan hujjah qath’iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maksud syara’,walaupun dalam penerapannya zhanni.(Al-Ghazali:310).
d.      Asy-Syathibi
Ia adalah salah seorang madzhab Maliki yang mengatakan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti  nash khusus,namun sesuai dengan tidankan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.Maka prisip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dandapat dijadikan rujukan sepanjang ia telah menjadi prisip dan digunakan syara’yang qoth’i. Dari pengertian yang dikemukakan Asy-Syathibi tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa :
·         al-maslahah al-mursalah menurut Asy-Syathibi adalah suatu maslahah yang tidak ada nash tertentu tetapi sesuai dengan tindakan syara’.
·         Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil dan tidak dari nash yang khusus,melainkan dari beberapa dalil dan nash secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qothi’ walupun secara bagian-bagiannya tidak menunjukkan qothi’.
Berdasarkan analisis Asy-Syathibi ,menurut Imam Malik al-maslahah al-mursalah adalah suatu masalah yang sesuai dengan tujuan,prinsip,dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan baik yang sifat dharuriyat(primer)maupun hajjiayat(sekunder).(Al-I’tisham juz II:1229).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat al- maslahah dalam syari’at  islam adalaha setiap manfaat yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu’tabar(diakui)atau tidaknya manfaat itu.

B.   SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum maslahah mursalah adalah ketika tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya Imam Malik mengajukan syarat-syarat khususnya yaitu:
1.      Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah).yaitu:
a.       Memelihara agama
b.      Menjaga keturunan
c.       Menjaga jiwa
d.      Menjaga akal
e.       Menjaga harta

Dengan adanya persyaratan ini  berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2.      Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3.      Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
 Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
Dan al-Baqarah ayat 185,
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan al-maslahah al mursalah secara sembarangan dan menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahah Mursalah.

C.   OBJEK AL-MASLAHAH AL-MURSALAH
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa lapangan al-maslahah al-mursalah selain yang berlandasakan pada hukum syara’ secara umum,juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dan manusia lain.Lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan.Dengan demikian,segi ibadah tidak termasuk dalam lampangan tersebut.
Yang dimaksud segi peribadatan adalah segala sesuatu yang tidak memberi kesempatan kepada akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari setiap hukum yang ada didalamnya.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa al-maslahah al-mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash,baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar.Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.

D.   PRO KONTRA DAN PENDAPAT ULAMA MENGENAI MASLAHAH MURSALAH
Para ulama yang pro terhadap maslahah mursalah diantaranya Imam Malik, Imam Hanbali dan al-Syatibi dengan argumen sebagai berikut :
1.      Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akal menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2.      Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali jaman Ustman ibn Affan.
3.      Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
4.      Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Sebagaimana disebutkan Abu Zahrah, Imam Malik dan golongan Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai sumber hukum selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab pada hakekatnya, keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikan maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.
Para ulama yang kontra atau menolak maslahah mursalah sebagai metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i, al-Ghazali dan para pengikutnya yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai metoda ijtihad. Alasan utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah sudah terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi permasalahan yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja. Sebaliknya jika ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash Qur’an dan Sunnah, maka artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu tidak sempurna atau tidak lengkap. Dan ini tentu saja bertentangan dengan al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah memberikan argumentasi sebagai berikut :
1.      Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang lengkap atau kurang sempurnya risalah Nabi.
2.      Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
3.      Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4.      Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memberi kemungkinan mudahnya perubahan hukum syara seiring perubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
BAB III
KESIMPULAN

Maslahah mursalah atau istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karena dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir ,pembuktian perkara-perkara yang lain, para ulama berbeda-beda pendapat mengenai hal ini..Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ada nash dan tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’ dan tidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat.
Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syariat dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad SAW. Alat dan cara  untuk  memperoleh  kemaslahatan  itu  berkembang  dan  beraneka ragam seirama  dengan perkembangan  sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondisi di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan dari teks syari kalau itu  dibenarkan,  dan  dibatalkan  kalau  tidak  dibenarkan.
Yang menjadi masalah adalah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami orang  setelah  Nabi  wafat,  sedangkan  teks  syariat  tidak  pernah  menyinggung masalah yang seperti itu. Inilah lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu kemaslahatan hidup manusia menurut yang dialami dan dirasakan oleh manusia itu sendiri yang tidak dapat diqiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan atau dibatalkan oleh teks syariat (nash).




DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet-I, Jilid II

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV

mahadalibogor.blogspot.co.id


CONTOH COVER SKRIPSI



SKRIPSI


Logo_IAIN_Raden_Intan_Bandar_Lampung

















 PERJANJIAN JUAL BELI SECARA ONLINE MELALUI REKENING BERSAMA PADA FORUM JUAL BELI KASKUS


OLEH :
TRI MAT KUSSRIN
1221030039


FAKULTAS SYARIAH
PRODI MUAMALAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
TA. 2014 M/1436 H